1 ) Zaman Prasejarah
Bermula dari Penemuan benda bersejarah di wilayah Depok dan sekitarnya menunjukkan bahwa Depok telah berpenghuni sejak zaman prasejarah. Penemuan tersebut itu berupa Menhir “Gagang Golok”, Punden berundak “Sumur Bandung”, Kapak Persegi dan Pahat Batu, yang merupakan peninggalan zaman megalit. Juga penemuan Paji Batu dan sejenis Beliung Batu yang merupakan peninggalan zaman Neolit.
2 ) Zaman Padjajaran
sekitar Pada abad ke-14 Kerajaan Padjajaran diperintah seorang raja yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan, yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Di sepanjang Sungai Ciliwung terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya Kerajaan Muara Beres. Sampai Karadenan terbentang benteng yang sangat kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta yang dibantu Demak, Cirebon dan Banten.
Depok berjarak sekitar 13 km sebelah utara Muara Beres. Jadi wajar apabila Depok dijadikan front terdepan tentara Jayakarta saat berperang melawan Padjajaran. Hal itu dibuktikan dengan:
Masih terdapatnya nama-nama kampung atau desa yang menggunakan bahasa Sunda antara lain Parung Serang, Parung Belimbing, Parung Malela, Parung Bingung, Cisalak, Karang Anyar dan lain-lain.
Dr. NJ. Krom pernah menemukan cincin emas kuno peninggalan zaman Padjajaran di Nagela, yang tersimpan di Museum Jakarta.
Tahun 1709 Abraham Van Riebeck menemukan benteng kuno peninggalan kerajaan Padjajaran di Karadenan.
Di rumah penduduk Kawung Pundak sampai sekarang masih ditemukan senjata kuno peninggalan zaman Padjajaran. Senjata ini mereka terima turun-temurun.
3 ) Zaman Islam
Pengaruh Islam masuk ke Depok diperkirakan pada tahun 1527, dan masuknya agama Islam di Depok bersamaan dengan perlawanan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut Verenigde Oost-lndische Compagnie (VOC) yang pada waktu itu berkedudukan di Batavia. Hubungan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut VOC harus melalui jalan darat. Jalan pintas terdekat yaitu melalui Depok. Karena itu tidaklah mengherankan kalau di Sawangan dan banyak peninggalan-peninggalan tentara Banten berupa :
Kramat Beji yang terletak antara Perumnas Depok I dan Depok Utara. Di sekitar tempat itu terdapat tujuh sumur dan sebuah bangunan kecil yang terdapat banyak sekali senjata kuno seperti keris, tombak dan golok peninggalan tentara Banter saat melawan VOC. Dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah itu bukanlah petani melainkan tentara pada jamannya. Informasi dari Kuncen turun temurun, bahwa tempat itu sering diadakan pertemuan antara tentara kerajaan Banten dan Cirebon. Di tempat itu biasanya diadakan latihar bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut padepokan. Kemungkinan nama Depok juga bersumber dari Padepokan Beji.
Di Pandak (Karadenan) terdapat masjid kuno yang merupakan masjid pertama di Bogor. Lokasi masjid ini dengan Bojong Gede hanya terhalang Sungai Ciliwung. Masjid ini dibangun Raden Safe’i cucu Pangeran Sangiang bergelar Prabu Surawisesa, yang pernah menjadi raja mandala di Muara Beres. Di rumah-rumah penduduk sekitar masjid ini masih terdapat senjata-senjata kuno dan beberapa buah kujang peninggalan zaman Padjajaran. Jadi masjid dibangun tentara padjajaran yang masuk Islam kurang lebih tahun 1550.
Di Bojong Gede terdapat makam Ratu Anti atau Ratu Maemunah, seorang prajurit Banten yang berjuang melawan padjajaran di kedungjiwa. Setelah perang selesai suaminya (raden pakpak) menyebarkan agama Islam di Priangan, sedangkan ratu anti sendiri menetap di bojonggede sambil menyebarkan agama Islam sampai meninggal.
4 ) Zaman Kolonial
“…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,…”
Penggalan kalimat dengan ejaan van Ophuijsen itu adalah hasil terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret 1714 yang ditulis tangan Cornelis Chastelein, seorang Belanda, tuan tanah eks pegawai (pejabat) Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Tiga bulan kemudian Chastelein meninggal dunia, persisnya 28 Juni 1714. Cornelis Chastelein itulah yang disebut cikal bakal berdirinya Kota Depok sekarang. Di bawah wewenang Kerajaan Belanda ketika itu (1696), ia diizinkan membeli tanah yang luasnya mencakup Depok sekarang, ditambah sedikit wilayah Jakarta Selatan plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekarang.
Meneer Belanda itu menguasai tanah kira-kira luasnya 1.244 hektare, setara dengan wilayah enam kecamatan zaman sekarang. Yang menarik dari surat wasiatnya, ia melukiskan Depok waktu itu yang dihiasi sungai, hutan, bambu rimbun, dan sengaja ditanam, tidak boleh diganggu.
Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu boleh jadi berhubungan dengan wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok sekarang, persisnya di selatan Cinere. Jika ada penggilingan tebu, niscaya ada tanaman tebu. Pastilah tanaman tebu itu terhampar luas dengan pengairan cukup. Bisa dibayangkan betapa elok Depok waktu itu.
Depok dan Bogor menjadi wilayah kekuasaan VOC sejak 17 April 1684, yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian antara sultan haji dari Banten dengan VOC. Pasal tiga dari perjanjian tersebut adalah Cisadane sampai ke hulu menjadi batas wilayah kesultanan Banten dengan wilayah kekuasaan VOC.
Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga muncullah tuan tanah-tuan tanah baru. Di daerah Depok terdapat tuan tanah Pondok Cina, Tuan Tanah Mampang, Tuan Tanah Cinere, Tuan Tanah Citayam dan Tuan Tanah Bojong Gede.Pada masa kejayaan VOC sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18 hampir semua orang Belanda di Batavia dan sekitarnya yang kaya raya memiliki sejumlah besar pekerja. Tumbuh kembangnya jumlah pekerja antara lain disebabkan kemenangankemenangan yang diraih VOC atau Belanda dalam menguasai suatu daerah, yang kemudian diangkut ke Pulau Jawa.
Pada era tersebut, hidup seorang tuan tanah dermawan yang juga menaruh perhatian besar terhadap perkembangan agama Kristen di Batavia dan sekitarnya. Beliau adalah Cornelis Chastelein yang menjadi anggota ReadOrdinair atau pejabat pengadilan VOC. Ayahnya Antonie Chastelein, adalah seorang Perancis yang menyeberang ke Belanda dan bekerja di VOC. Ibunya Maria Cruidenar, putri Wali Kota Dordtrecht. Sinyo Perancis-Belanda ini menikah dengan noni holland Catharina Van Vaalberg. Pasangan ini memiliki seorang putra, Anthony Chastelein, dan kawin dengan Anna De Haan.
Saat menjabat pegawai VOC, kariernya cepat melejit. Namun, saat terjadi perubahan kebijakan karena pergantian Gubernur Jenderal VOC dari J. Camphuys ke tangan Willem Van Outhorn, ia hengkang dari VOC. Sebagai agamawan fanatik, Cornelis tidak senang melihat praktek kecurangan VOC. Borok-borok moral serta korupsi di segala bidang lapisan pihak Kompeni Belanda selaku penguasa sangat bertentangan dengan hati nurani penginjil ini. Maka ia tetap bersikukuh keluar dari VOC, beberapa saat sebelum Gubernur Jenderal VOC Johannes Camphuys mengalihkan jabatannya kepada Willem Van Outhorn.
Pada 18 Mei 1696, ia membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah selatan Batavia yang hanya bisa dicapai melalui Sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di 6ilangan Mampang, Karanganyar, dan Depok. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang pertanian di bilangan Seringsing (Serengseng).
Untuk menggarap lahan pertaniannya yang luas itu, ia mendatangkan pekerja dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Ternate, Kei, Jawa, Batavia, Pulau Rate, dan Filipina. Semuanya berjumlah sekitar 120 orang. Atas permintaan ayahnya dulu, ia pun menyebarkan agama Kristen kepada para budaknya. Perlahan muncul di sini sebuah padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen, disingkat Depok. Semboyan mereka Deze Einheid Predikt Ons Kristus yang juga disingkat Depok.
Menjelang ajalnya, 13 Maret 1714, Cornelis Chastelein menulis wasiat berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang merdeka. Setiap keluarga bekas pekerjanya memperoleh 16 ringgit. Hartanya berupa 300 kerbau pembajak sawah, dua perangkat gamelan berlapis emas, 60 tombak perak, juga dihibahkannya kepada bekas pekerjanya. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chastelein meninggal dunia, meninggalkan bekas budaknya yang telah melebur dalam 12 marga yaitu Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholens, Isakh, Soediro, dan Zadhoks. Marga itu kini hanya tinggal 11 buah karena marga Zadoks telah punah.
Anthony, putra Cornelis Chastelein, meninggal pada 1715, satu tahun setelah ayahnya meninggal. Istri Anthony kemudian menikah dengan Mr. Joan Francois De Witte Van Schooten, anggota dari Agtb. Raad van Justitie des casteels Batavia.
Di Depok saat ini masih terdapat Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Lembaga itu dibentuk 4 Agustus 1952 dihadapan Notaris Soerojo dengan perwakilan diantaranya J.M Jonathans dan F.H Soedira.
Sementara itu, keturunan pekerja yang dimerdekakan Cornelis Chastelein itu biasa disebut Belanda Depok. Namun RM Jonathans, salah satu tokoh YLCC menyebut julukan itu tidak kondusif, seolah olah memberi pembenaran bahwa komunitas tadi merupakan representasi masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, yang ketika itu menjajah Indonesia.
Sejak saat ini Depok terus bertumbuh dan berkembang menjadi kawasan hunian yang ramai. Pada 1871 pemerintah Hindia Belanda memutuskan menjadikan Depok wilayah otonom sendiri. Sejak itu, Depok yang kala itu telah memiliki daerah teritorial sekitar 1.249 hektare, diperintah seorang residen sebagai Badan Pemerintahan Depok tertinggi.
5 ) Zaman Jepang
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, HEIHO dan Pembela Tanah Air (PETA) dibubarkan. Putra-putri HEIHO dan PETA kembali ke kampungnya. Mereka diperbolehkan membawa perlengkapan kecuali senjata. Diproklamirkannya Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pemuda Depok khususnya bekas HEIHO clan PETA terpanggil hatinya untuk berjuang. Pada September 1945 diadakan rapat yang pertama kali di sebuah rumah di Jaian Citayam (sekarang Jalan Kartini). Hadir saat itu seorang bekas PETA (Tole lskandar), tujuh orang bekas HEIHO dan 13 pemuda Depok lainnya.
Pada rapat tersebut diputuskan dibentuk barisan keamanan Depok yang seluruhnya berjumlah 21 orang dengan komandannya Tole Iskandar. Ke-21 orang inilah sebagai cikal bakal perjuangan di Depok.
Terbentuknya Kota Administratif Depok
Waktu terus bergulir seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tahun 1976, permukiman warga mulai dibangun dan berkembang terus hingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif (Kotif) Depok. Pembentukan Kotif Depok itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, yang saat itu dijabat oleh H Amir Mahmud.
Bersamaan dengan perubahan status tersebut, berlaku pula Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 43 tahun 1981, tentang pembentukan Kotif Depok yang meliputi tiga Kecamatan. Yakni, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Ketiga Kecamatan itu memiliki luas wilayah 6.794 hektare dan terdiri atas 23 Kelurahan.
Lantaran tingginya tingkat kepadatan penduduk yang secara administratif telah mencapai 49 orang per hektare dan secara fungsional mencapai 107 orang per hektare, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,75 persen per tahun, dan pemikiran regional, nasional, dan Internasional akhirnya konsep pengembangan Kotif Depok mulai dirancang menuju kerangka Kota Depok
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka diperlukan beragam upaya perwujudan organisasi yang memiliki otonom sendiri, yaitu Kota Madya Depok atau Kota Depok.
Terbentuknya Kota Depok
Pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang kian mendesak, tuntutan Depok menjadi kotamadya menjadi semakin maksimum. Di sisi lain Pemda Kabupaten Bogor bersama pemda Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tersebut, dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994, Nomor 135/SK, DPRD/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan.06IDPRD/1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1999, tentang pembentukan Kota Madya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999.
Kota Depok itu sendiri diresmikan 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan Pejabat Wali Kota Madya Kepala Daerah Tk. I I Depok, Drs. H. Badrul Kamal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Wali Kota Administratif Depok.
Momentum peresmian kotamadya ini dapat dijadikan landasan bersejarah dan tepat dijadikan hari jadi kota Depok. Wilayah Kota Depok diperluas ke Kabupaten Bogor lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan sebagian Kecamatan Bojong Gede yang terdiri dari Desa Bojong Pondok Terong, Ratujaya, Pondok Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Hingga kini wilayah Depok terdiri dari enam kecamatan terbagi menjadi 63 kelurahan, 772 RW, 3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga.
Depok menjadi salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi.
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
Rumah Cimanggis
Salah satu peninggalan jejak masa lalu cimanggis adalah rumah peristirahatan Cimanggis, di Kota Depok, Jawa Barat, yang terletak di kompleks pemancar RRI. Rumah besar ini pernah menjadi tempat peristirahatan yang terkenal karena keindahannya. Rumah Cimanggis, begitu orang sering menyebutnya, dibangun antara tahun 1775 dan 1778 oleh David J. Smith. Semula rumah peristirahatan ini berupa bangunan sederhana. Bangunan ini milik janda Gubernur Jenderal Hindia Belanda van der Parra. Ketika sang janda meninggal tahun 1787, Smith mewarisinya lengkap dengan seluruh perabotan maupun hewan peliharaannya.
Rumah Cimanggis terlihat megah dengan tiang-tiang besar menopang atapnya yang kukuh. Jendelanya, sama seperti bangunan Hindia Belanda lainnya, pintu dan jendelanya berukuran besar-besar dengan ukiran yang indah di bidang angin-angin di atasnya.
Menurut A. Heuken, SJ dalam bukunya, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, di mana sebagian data tulisan ini diambil darinya, rumah Cimanggis adalah contoh yang bagus bagi bangunan di Indonesia Abad Ke-18, dan memperlihatkan unsur pengaruh gaya Louis XV. Ia menyarankan agar rumah ini dijaga betul-betul sebab menajdi salah satu dari hanya kira-kira tiga rumah saja yang pernah berperansebagai pusat pembukaan hutan di wilayah antara Jakarta-Bogor.
Tinggal reruntuhan
Sayang sekali harapan Heuken, seorang pastor yang memiliki pengetahuan sejarah dan arsitektur yang luas, kandas. Hingga Maret 2013, bangunan itu telah porak-peranda, atapnya runtuh, daun pintu serta jendela banyak yang hilang atau rusak. Yang tersisa adalah setumpukan kayu dan genteng sisa atap yang telah runtuh, dan ini pun sudah ditumbuhi semak. Semula ada beberapa keluarga yang mendiami tempat ini, akan tetapi berhubung kondisi bangunan kian mengkhawatirkan mereka pindah.
Jendela kaca besar-besar masih tersisa, dengan kaca yang masih termasuk asli. Sebagian kaca ada yang dicat warna biru, dan bermacam-macam jenis sticker masih tertinggal.
Lokasi
Rumah Cimanggis ini kini terletak di kompleks pemancar RRI, berdiri dengan jarak k.l. 1,5 km dari jalan raya Jakarta Bogor. Pohon besar-besar kini mencengkeram bagian depan gedung, dengan atap serambi yang nyaris roboh Pada petang hari banyak penduduk yang meluangkan waktu di kompleks ini sebagai tempat rekreasi yang murah-meriah. Tentu saja sepanjang mereka mengikuti aturan dan larangan misalnya tidak boleh bermain layang-layang karena dapat mengganggu kabel transmisi serta dapat membahayakan jiwa orang.
Banyak warga Depok yang tidak tahu sejarah atau latar belakang gedung megah yang kini runtuh dan menganggapnya sebagai bangunan seram dan ada yang menganggapnya mungkin berhantu. Sayang seribu kali sayang.
Siang itu matahari bersinar dengan garangnya. Kereta kuda van Riemsdijk berjalan tertatih menyusuri jalan tanah bergelombang menuju rumahnya di Tandjong Oost. Debu tebal mengepul di belakang roda yang berputar menimbulkan suara berderak. Di depan sana, dari jarak cukup jauh ia melihat sebuah kereta lainnya berhenti membentuk siluet bergoyang akibat fatamorgana.
Van Riemsdijk memacu kudanya dan berhenti di belakang kereta mogok itu. Setelah memarkir kereta di bawah sebuah pohon asam yang rindang, ia turun dan berjalan menghampiri. Ia melihat seseorang berjongkok memeriksa roda kereta yang patah asnya, seseorang lainnya berdiri di sebelahnya sambil berkacak pinggang dengan raut muka kesal dan bibir yang tak berhenti menyumpah. Laki-laki itu memakai baju dan topi mirip dengan yang dikenakan Kaisar Napoleon dari Prancis.
Melihat penampilannya, van Riemsdijk langsung yakin kalau lelaki ini pastilah Marsekal Herman Willem Daendels yang tengah dalam perjalanan menuju Buitenzorg. Tanpa membuang waktu lagi ia lantas memberi hormat dan menyapanya dengan ramah.
Sejurus mereka saling bercakap, selanjutnya setelah tahu duduk persoalannya, van Riemsdijk menawarkan kereta kudanya sebagai ganti kereta Daendels yang mogok itu. Dengan senang hati Daendels menerima tawaran van Riemsdijk sambil berkata: " Ah tuan sungguh sopan sekali, padahal saya berfikir kalau pun seandainya tuan tidak menawarkan kereta ini, pastilah saya akan mengambilnya begitu saja. Baiklah tak jadi soal, betapa pun juga saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan tuan." Setelah itu Daendels meninggalkan van Riemsdijk yang berdiri terpaku memandang keretanya bergerak meninggalkannya sendirian di tengah jalan hingga lenyap dari pandangan.
Sekarang giliran van Riemsdijk—keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda: Jeremias van Riemsdijk (1712-1777) yang kebingungan tak tahu dengan kendaraan apa ia pulang keGroeneveld, rumahnya di Tandjong Oost (Tanjung Timur). Padahal Groeneveld jaraknya masih beberapa pal dari tempatnya berdiri ini. Akhirnya tuan-tanah yang berbadan tambun ini memutuskan pulang dengan berjalan kaki di tengah teriknya matahari.
Itulah sebuah fragmen kisah masa lalu dari ribuan kisah lainnya yang pernah terjadi di sebuah jalan raya yang sekarang bernama Jalan Raya Bogor. Sebuah jalan yang dahulunya merupakan akses utama dari Batavia ke Buitenzorg. Namun dengan dibukanya jalan tol Jagorawi, lambat laun peran jalan ini pun tergantikan meskipun tak mengurangi volume kendaraan yang lalu-lalang di atasnya.
Dahulu untuk mencapai Buitenzorg dari Batavia diperlukan waktu sekitar 4 jam melewati jalan ini (seperti diceritakan Gustaaf Willem van Imhoff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah dari 1743 sampai 1750). Bahkan Marsekal Herman Willem Daendels pernah tak bisa mencapai Buitenzorg dalam waktu 1 hari karena kondisi jalan yang buruk dimana banyak sungai meluap hingga menyebabkan jalan yang dilewati bagaikan rawa-rawa.
Pada KM 34 terdapat Pasar Cimanggis, sebuah tempat yang dahulu dimiliki oleh tuan tanah yang rumahnya terletak tidak jauh dari sini. Tempat ini jaman dulu merupakan pos perhentian bagi orang-orang yang tengah melakukan perjalanan ke Buitenzorg atau Tjipanas. Di sini orang bisa beristirahat sejenak sambil mengganti kuda-kuda mereka dengan kuda yang lebih segar kondisinya (seperti lukisan Johannes Rach di bawah).
Maklum perjalanan ke Buitenzorg bukanlah hal yang mudah dikarenakan kondisi jalan yang buruk waktu itu.
Kondisi Jalan Raya Bogor saat ini memang sangat jauh berbeda dibandingkan masa lalu. Di kanan kirinya telah penuh dengan bangunan-bangunan baru baik sebagai rumah pribadi, kantor, pabrik maupun toko-toko. Kalaupun masih ada yang bisa dijadikan penanda masa lalu, barangkali itu adalah pohon-pohon asam tua yang masih tumbuh beberapa buah berderet di sepanjang jalan ini. Selain itu masih ada beberapa rumah besar milik bekas tuan-tanah yang masih berdiri menunggu runtuh secara perlahan karena sikap generasi sekarang yang tak peduli lagi dengan sejarah dan masa lalunya. Sungguh menyedihkan.
CERITA BELANDA DEPOK
Berawal pada akhir abad ke 17 (ada yang mengatakan pada tanggal 18 Mei 1696, ada juga pada tanggal 13 Maret 1675), seorang saudagar Belanda, eks VOC, bernama Cornelis Chastelein membeli tanah di Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Pejambon, Mampang dan Depok.
Adapun tanah Depok di beli dengan harga 700 ringgit, dan status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda.
Untuk memelihara tanah yang subur, dengan sawah yang menghampar luas diperlukan tenaga kerja. Maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan dari Betawi. Sayang sekali data persis mengenai asal muasal pekerja ini tidak diketahui.
Sejak itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, yang kemudian menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri, lepas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.
Daerah otonomi Chastelein ini dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Ternyata pemerintah Belanda di Batavia menyetujui pemerintahan Chastelein ini, dan menjadikannya sebagai kepala negara Depok yang pertama.
Sebelum Chastelein meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, ia sudah mempersiapkan sebuah surat wasiat yang isinya memerdekakan seluruh pekerja beserta keluarganya. Ia juga membuat para pekerja-pekerja untuk menganut agama Kristen Protestan dan setiap kepala keluarga diminta untuk memakai nama-nama sebagai berikut SOEDIRA, LEANDER, LAURENS, JONATHANS, LOEN, THOLENSE, SAMUEL, JOSEPH, ISAKH, ZADOKH, JAKOB
Tapi ada satu isi surat wasiat Chastelien yang membuat berang gubernur jendral Belanda di Batavia, yaitu tentang di wariskannya tanah Depok kepada para pekerjanya. Maka dengan segera pemerintah Belanda mengirim utusan untuk membatalkan isi surat wasiat tersebut, dan mengubahnya menjadi tanah Depok yang diwariskan kepada anak Chastelein.
Bagi pemerintah Belanda pengguguran surat wasiat itu cukup beralasan, sebab dalam undang-undang pemerintah kerajaan Belanda, tidak di benarkan seorang Belanda mewariskan hartanya kepada orang lain, di luar orang Belanda.
Tapi pemerintah Belanda masih mau bersikap luwes. Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan, bahwa para pekerja masih diijinkan menggarap tanah yang selama ini mereka kerjakan dengan status hak pakai. Secara hukum berarti para bekas pekerja berstatus penggarap sekaligus berhak menikmati sebagian hasil dari garapannya.
Dan nyatanya, lama kelamaan hak pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik. Atau dikenal dengan Deelgerehtigen.
Pada jaman pendudukan Hindia Belanda, para bekas pekerja ini memang bisa hidup cukup enak. Mereka berpendidikan, bekerja di pemerintahan dan menjadi petani kaya dengan tanah puluhan hektar.
Namun pada ketika jaman pendudukan Jepang, mereka mulai merasakan kesulitan hidup. Dan titik baliknya nasib mereka adalah ketika Indonesia merdeka.
Rasa cemburu penduduk sekitar Depok tak tertahankan, karena Belanda meng-anakemas-kan Depok selama 2 abad lebih. Orang-orang Depok banyak yang mati dan harta mereka banyak yang di rampok.
Pada tanggal 4 Agustus 1952. Pemerintah Indonesia , waktu itu mengeluarkan ganti rugi sebesar Rp. 229.261,26,-. Seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak milik pemerintah RI, kecuali hak-hak eigendom dan beberapa bangunan : Geraja, Sekolah, Pastoran, Balai pertemuan, dan Pemakaman seluas 0,8621 ha.
Sejak itu pula berdiri LCC (lembaga cornelis chastelein), sebuah organisasi sosial yang mengurus sekolah, pemakaman, dan kesejahteraan penduduk Depok Lama.
Secara fisik Depok sudah berubah secara pesat, pada tahun 1982 Depok berubah dari kewedanaan menjadi kota administratif. Pusat-pusat perbelanjaan, Sekolah-sekolah, Gereja-gereja, Perumahan dan berbagai gedung lain terus berkembang dan bertambah.
STASIUN DEPOK LAMA
0 komentar:
Posting Komentar